Kunikmati
rinai hujan senja ini. air yang turun dari langit luas dan bercumbu dengan alam
sehingga menyerap hingga perut bumi yang terdalam. Begitu indah. Aku sangat
menyukai hujan. Kenapa? Karena aku selalu berharap dengan adanya aer hujan yang
mengalir, rasa sedihku ini juga ikut mengalir, bahkan menghilang dari seluruh
urat nadi ini. Ketika hujan datang, luka ini memang ikut menghilang tapi ketika
tetesan hujan ini berakhir, luka ini kembali hadir. Apa tidak boleh bersedih?
“nduk, nti kamu masuk angin” suara berat yang begitu ku kenal menegurku, yang
sebenarnya pemilik suara itu tau aku tak memerlukan ucapannya dan aku pasti
akan terus duduk diteras ini.
Seperti biasa, pemilik suara itu mendekat dan
memegang pundakku seperti hujan-hujan sebelumnya dan akan mengeluarkan
kata-kata “tak ada yang perlu disesali, semua itu sudah ketentuan Allah” aku
tetap diam, dan seperti biasa pemiik suara itu meletakkan segelas teh hangat
disampingku dan berlalu. Kebiasaan selama setahun kebelakang ini di saat hujan.
Aku tetap diam. Tak meliriknya sedikit pun. Aku tak membenci dia, tidak pernah
sedetikpun membenci pemilik suara itu. Tapi aku membenci wanita yang
bersamanya, yang sebulan lalu dibawanya ke rumah ini, kerumah yang semestinya
tak ada tempat untuk wanita lain. Aku cemburu? Tidak! Egoku berontak. Aku tak
perlu cemburu dengan wanita itu.
Rinai hujan itu berhenti, kuputuskan untuk masuk ke kamar, tetap kubawa segelas
teh hangat itu, melewati ruang tamu ku lihat wanita itu sedang bercanda
riangnya dengan adikku, Ya! Wanita mana yang tidak bisa mengambil hati anak
seusia 5 tahun? Hanya dengan memberikan permen dan mendongeng akan membuat dia
tunduk pada wanita itu. Tapi aku bukan anak seusianya. Aku sudah umur belasan dan
aku tau kalau cintanya tak sepenuhnya tercurahkan kepada kami. Hanya untuk
pemilik suara itu.
“hujannya sudah reda ya nduk?” tanya wanita itu. Basa basi! Dan aku tau itu.
Aku hanya mengangguk. Dan aku berlalu, meninggalkan wanita itu yang tetap
menatap punggungku sambil berlalu.
Sesampai di kamar kupandangi lagi wajah teduh seorang wanita luar biasa di
figura tua ini,memakai baju warna hijau kesukaannya dan kerudung yang senada,
poto yang di ambil ketika aku belum genap berusia sepuluh tahun, dengan tatapan
mata dan senyuman yang membuat hati ini nyaman, semakin membuatku
merindukannya.
Banyak yang ingin kuceritakan kepadanya. Tentang bimbang hati
ini, tentang Ayu teman sekolahku yang ngeselin, tentang rasa yang ku tak tau
apa yang selalu muncul ketika kubersama Dian, teman pria di kelasku. Huh!
Memikirkannya saja membuat pipi ini panas. Begitu banyak, serta tentang wanita
yang datang ke rumah ini secara tiba-tiba seperti ingin menggantikan sosoknya.
Sangat banyak.
Tapi kenapa waktu begitu cepat menjauhkan aku dari wanita di
figura ini? “karena Allah lebih sayang padanya” Kata pemilik suara berat itu
padaku ketika kami mengantar wanita ini ke tempat peristirahatan terakhirnya,
aku hanya bisa menangis ketika semua orang menyalamiku tapi aku tak mengenal
mereka mereka, saat itu Aku hanya menatap gundukan tanah segar itu, dan
berharap akan segera bangun dari mimpi buruk itu. Tapi tidak! Hari itu nyata. Sampai kami pulang kerumah tanpa wanita
figura ini dan itu yang membuatku semakin tersadar kalu ternyata kami telah
berada di alam yang berbeda. Air mata ini jatuh lagi, tak bisa ku tak menangis
bila melihat wanita dalam figura ini, walaupun kejadian itu sudah lebih empat
bulan dari tiga enam puluh enam hari.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Ku
berjinjit mengendap-endap memasuki kamar pemilik suara berat itu, yang dulunya
juga kamar wanita figura ini tapi sekarang telah ditempati oleh wanita baru
ini. Lama ku tak masuk ke dalam kamar ini, tak sanggup melihat semuanya akan
berubah.
Aku
tesigap ketika membuka pintunya, tidak ada yang berubah, masih terdapat bingkai
poto kami bersama yang berukuran besar di dinding kamar itu, masih tetap ada
bunga kesayangan wanita figura itu di sudut ruangan dan benar-benar tak ada
yang berubah, bahkan aroma kamar ini juga masih tetap sama, yang semakin
membuatku tercengang dengan tak ada satu pun photo wanita baru itu di dalam
kamar ini, bahkan poto ketika mereka mengikat janji setia.
Tak
lama kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat ke kamar ini, refleks aku
bersembunyi agar tak melihat, kupaksa badanku ini merayap di bawah tempat tidur
di kamar ini, aku tak ingin terlihat sedang mnegendap-endap dikamar ini.
jantung ini seperti ingin berloncatan ke luar demi melihat pria bersuara berat
dan wanita itu measuk ke kamar ini.
“Ra,
maafkan mas ya” suara berat itu mulai membuka suara, jarak mereka sekitar tiga
meter dari tempat persembunyianku dan aku bisa mendengar dan melihat semuanya
dengan jelas.
“gak
ada yang salah mas, gak ada yang harus dimaafkan, semua ini ketentuan allah,
seperti yang pernah mas katakan pada saya” wanita itu dengan berat mengucapkan,
terdengar seperti ia menahan tangis.
“tapi
itu yang membuat kamu tidak nyaman seperti ini kan? Membuat karir kamu
terhambat dan Dia, orang yang kita jumpa barusan sebenarnya pilihan hati kamu”
“tidak
mas..tidak..” suara wanita itu tercekat
“Ra,
saya tau, dengan melihat tatapan mata kalian berdua saja, saya paham masih ada
rasa yang tertinggal” Aku terus menyimak arah pembicaraan mereka yang semakin
tak kumengerti maksudnya.
“itu
gak sebanding mas, dengan apa yang kudapatkan dari mas dan mbak”
“ini
bukan untuk balas budi Ra”
“bukan
mas, aku bukan membalas budi kalian karena ku tau aku tak sanggup membalasnya,
aku hanya ingin melakukan apa yang aku bisa untuk membahagiakan mas dan mbak
dan aku rasa ini yang harus kulakukan. Karena aku tau kebahagiaan kalian ada
jika melihat dua anak itu bahagia” begitu tegas suara wanita itu terdengar
walaupun semakin serak.
“udah tiga ratus hari Ra, saya tidak tau
berapa lagi sisa waktunya dan apa ini cukup untuk meyakinkan sasa kalau kamu
bisa menggantikan sosok ibunya?”
Aku
mulai menahan nafas, kenapa ada nama ku? Kenapa dengan beberapa sisa hari ke
depan, apa ini seperti taruhan? Apa ini pegadaian? Aku benar-benar belum paham
apa yang sedang dipikirkan kedua insan tersebut.
“mas,
mbak ina gak bakal bisa tergantikan di hati sasa tapi saya hanya berharap, dia
bisa meletakkan saya disudut hatinya yang tersisa” Dia mulai terisak, Aku
merasakan ketulusun di setiap kata-kata wanitu itu, tanpa sadar airmata ini
ikut keluar juga.
“dan kita tidak tau rencana allah mas, seratus
hari kata dokter mungkin bisa menjadi ratusan tahun jika Allah menghendaki”
Aku
mulai memahami pembicaraan ini. Ya Allah! Ini tentang penyakit pemilik suara
itu, aku tau dulu Ayah dari dulu sakit tapi tak separah yang kubayangkan. Aku
menahan tangisku agar tidak terdengar oleh mereka, selama ini aku benar-benar
salah menilai sosok wanita ini. Ya Allah, beri aku waktu untuk meminta maaf
kepada keduanya.
-----------------------------------------------------------
Kupandangi
gundukan tanah yang segar itu. Ayah juga telah pergi, tak sampai seratus hari
sisanya seperti yang dikatakan oleh dokter, Allah mengambil ayah lebih cepat,
tanpa ada tanda-tanda yang ditinggalkan, Ayah menghembuskan nafas terakhir
dengan tenang seusai shalat subuh tadi pagi. Ayah menyusul Mamak di sana,
mungkin mereka diciptakan untu bersama di dunia dan alam selanjutnya. Wanita
ini memelukku erat. Aku merasakan kehangatan yang di alirkannya. Wanita ini
memeluk kami berdua dengan tegar, walalupun aku tau dia juga tak sekuat
kelihatannya, ada sisi rapuh yang disembunyikannya. Makasih ya Allah kau
menggerakkkan hatinya tuk mau bersama aku dan adikku.
Dia
menuntun kami berdua untuk pulang, kulihat ada beberapa saudara yang berada
dibelakang kami, aku tetap diam tak mengatakan apapun. Sebelum sampai ke rumah,
gerimis itu turun, melukiskan isi hatiku yang sedang berduka. Kutatap wajah
wanita ini dengan seksama, ada kepedihan yang mendalam tampak di wajahnya.
“Ibu”
panggilku lirih. Dia tersentak kaget, pasti heran dengan ucapanku. Tapi
kuputuskan untuk mengatakannya saat ini, tepat atau tidak tepat.
“kamu
mengucapkan apa sa?” katanya hampir tak terdengar, aku tau dia tak percaya
denagn ucapanku.
“Ibu”
aku menegaskan lagi kata-kata itu, kata yang memang harus ku sematkan padanya.
“bisa
Ibu mencarikan sosok Ayah tuk mengisi sudut hatiku yang masih tersisa?”
Akhirnya aku mengatakannya, hal pertama yang terlintas di pikiranku ketika
melihat gundukan makam ayak tadi.
Dia
terkejut dengan airmata yang semakin deras di pipinya, tapi aku tau itu airmata
bahagia. Hujan itu kembali datang dan ku tau hujan ini membawa sedihku yang
akan digantikan oleh bahagia ketika rinai itu pergi, seperti pelangi yang
datang setelah hujan hilang..
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie